Selama ini saya beranggapan kalau untuk sekolah di tingkat SD dan SMP semuanya gratis. CMIIW. Apalagi di provinsi ini ada program sekolah gratis sampai SMA. jadi seharusnya tidak ada alasan lagi bagi anak-anak untuk putus sekolah. Tapi itu anggapan saya 😀
Sampai pada akhir tahun kemarin saya diajak salah satu LSM yang selama ini peduli dengan anak-anak untuk mengkonseling anak-anak yang putus sekolah. Saya terkejut. ternyata masih ada juga ya anak-anak yang putus sekolah walaupun semuanya katanya sudah digratiskan pemerintah. Dugaan awal saya adalah pasti mereka semua putus sekolah karena alasan ekonomi, karena orangtuanya tidak mampu untuk membiayai sekolah anaknya. tapikan katanya sekolah gratis 😀
Ketika kami mulai berdiskusi dengan anak-anak itu ternyata dugaan saya salah. apalagi ketika membaca laporan dari teman-teman yang lain. usia anak-anak itu mulai dari 7 sampai dengan 15 tahun. sebagian besar tidak menamatkan sekolah dasar. ada beberapa yang berhenti di kelas satu SD. dan hanya sedikit yang berhenti bersekolah karena alasan finansial. ada yang menjadi tulang punggung keluarga, adapula yang lebih memilih untuk membantu orangtuanya mengurusi rumah tangga karena orangtua lebih banyak di kebun.
Tapi sebagian besar alasannya adalah karena mereka yang tidak ingin bersekolah dan orangtua juga tidak memaksa. dan mereka lebih memilih untuk berkebun atau berjualan karena bisa mendapatkan penghasilan yang besar. orangtua mereka juga tidak menganggap penting pendidikan. ada anak yang memang seluruh saudaranya putus sekolah di tengah jalan walaupun orangtuanya sebenarnya mampu. Banyak orangtua yang beranggapan kalau meskipun tanpa bersekolah mereka toh tetap bisa menghasilkan uang. tidak perlu untuk membuang-buang waktu untuk bersekolah. Ada seorang anak yang penghasilan dari warungnya bisa mencapai 100 ribu per hari meskipun ia tidak tamat sekolah dasar. Ada juga yang sudah membeli motor dari hasilnya sebagai penderes karet.
Selain itu, ada juga yang mempunyai kemampuan kurang untuk belajar. sehingga anak-anak itu lebih memilih untuk tidak bersekolah daripada dimarahi oleh guru mereka 😦 Ada juga yang malas ke sekolah karena letaknya yang jauh dan kondisi jalan yang sangat tidak bersahabat meskipun desa ini hanya terletak sekitar 20 km dari Palembang.
Jadi, sekadar mencanangkan sekolah gratis saja tidak cukup kalau tujuannya agar setiap anak mendapatkan pendidikan. akses ke sekolah seharusnya juga dipermudah sehingga tidak ada alasan untuk malas ke sekolah karena jaraknya yang jauh. Selain itu, harusnya ada pendekatan ke para orangtua melalui tokoh agama ataupun tokoh masyarakat tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Advokasi melalui cara manapun boleh saja selama akan membuat orangtua menyadari arti pendidikan bagi anak mereka. Jika tidak anak-anak mereka akan tetap putus sekolah dan kesempatan untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik mungkin akan tertutup.
tepat, setuju. seringkali sekolah gratis pun percuma kalo sulit dijangkau. apalagi, penempatannya pun ga merata, ada sekolah gratis di tengah2 hunian orang kaya
@Billy
memangnya orang kaya perlu ya sekolah gratis? bukannya buat sebagian besar orang kaya yang penting adalah kualitas pendidikan sehingga mereka rela untuk membayar?
maksud di komen tersebut adalah penempatannya yang salah. bikin sekolah gratis malah di tengah2 hunian orang kaya, yang jelas2 ga perlu sekolah gratis. padahal kan, tujuan sekolah gratis buat masyarakat yang bukan orang kaya.
oh i see 😀
itulah yang membuat saya heran dengan penempatan sekolah gratis di wilayah menengah ke atas.
atau ada tunjangan sekolah untuk anak-anak yang sekolah?
jadi kan sekolah udah dapet ilmu, dibayar pula…
kadangkala memang dibilang gratis tapi ada sumbangan ini itu (>_<)
'info dari curhatan bibi londri'
miris 😐
mungkin yang perlu diubah dalam hal ini adalah mindset dari penduduk yg harusnya lebih mengutamakan pendidikan dahulu buat anak2nya
@sez
iya kalau masih tetap sekolah, kalo malah duitnya diambil sekolah juga males? 😉
@ansella
di desa-desa. gak pake sumbangan aja susah buat mendorong mereka untuk sekolah
@Takodok
saya juga miris…
@emfajar
itu dia masalahnya, mindset yang tidak menganggap penting pendidikan. itu yang harus diubah.
semboyan ‘anak perempuan tidak usah sekolah tinggi-tinggi karena larinya ke dapur’ itu juga masih banyak yang melekat juga kan ‘miris’
itu memang masih banyak melekat dan seharusnya perlu advokasi tentang pentingnya pendidikan bagi semua anak tanpa peduli jenis kelamin.
semoga pendidikan indonesia semakin maju dari waktu ke waktu
amin 😀
Ira, sedih sekali baca tulisanmu ini.
Berarti tetap perlu sosialisasi ya.
Pembantuku udah 17 tahun ikut, pas kerumahnya saya kaget, karena cukup mampu sebetulnya membiayai sampai SMA. Selama dia kerja denganku, uang tak pernah dikirim ke rumah, jadi depositonya ratusan juga. Tapi dia hanya lulus SD, terus saya sekolahkan, jadi lulus SMP, sayangnya saat SMA tak meneruskan di tengah jalan.
Dia pengin nyopir, jadilah dia momong anak bungsuku sejak SD sampai lulus S2, mengantar dan menyopir, menemani nonton saat anakku remaja. Sampai2, saat si bungsu ujian S2, si mbak yang menemani, bahkan setelah sekarang melanjutkan S3 di Jepang, dia pesannya ke si mbak..sudah seperti keluarga sendiri, apalagi setelah ayah ibunya tiada….jadi saya dan suami seperti ayah ibunya.
Dan dia bisa ngetik di komputer……dan tahu mana-mana…coba andaikata orangtua nya sadar pendidikan, dia pasti jadi orang hebat….
orang-orang seperti inilah yang membuat saya miris bu. itulah kenapa perlu sosialisasi tentang pentingnya pendidikan kepada semua orang.