Ini kudapat dari milis aids-ina, milis terbesar (CMIIW) Komunitas orang-orang yang berhubungan dengan HIV dan AIDS di Indonesia (that’s including me……)
Soal kasus ini sebenarnya sudah beberapa hari ini diangkat oleh teman-teman dari Papua… Di mana ada makhluk brengsek yang entah kenapa tiba-tiba punya ide untuk menaruh micro-chip dan sebangsanya pada setiap orang yang positif HIV.
SIARAN PERS
Untuk segera diterbitkanKPA TOLAK PEMASANGAN MICROCHIP
Draft Raperdasi Pembangunan Kesehatan Bukan dari EksekutifJ A Y A P U R A (18/7) – Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua menolak keras rencana pemasangan microchip bagi ODHA (orang hidup dengan HIV&AIDS) sebagai salah satu cara untuk memutus mata rantai penyebaran HIV di Papua. Pemikiran ini sangat tidak logis dan tidak manusiawi serta melanggar hak asasi manusia.
Penolakan itu disampaikan Ketua Harian KPA Provinsi Papua, drh. Constant Karma, saat jumpa pers dengan sejumlah wartawan di Sekretariat KPA Provinsi Papua, Dok II Jayapura, Rabu (18/7) pagi. ”ODHA bukan ikan hiu yang sedang diobservasi sehingga harus dipasang microchip untuk mengetahui gerak-gerik dan keberadaannya. Penandaan dalam bentuk apapun pada ODHA melanggar HAM,” tegas Constant Karma.
Saat ini DPRP Papua sedang membahas Rancangan Peraturan Daerah Provinsi (Raperdasi) tentang Pembangunan Kesehatan di Papua. Pasal 35 raperdasi tersebut memuat tentang HIV&AIDS. Ayat 4:i berisi tentang diperlukan alat bantu deteksi yang digunakan untuk mengetahui jumlah, sebaran, gerakan maupun aktivitas (seks) ODHA.
Alat bantu deteksi itu misalnya dengan pemasangan microchip atau pengkodean/penandaa n paten pada ODHA yang dibuat sedemikian rupa sehingga tidak melanggar etika, moral, dan hak asasi setiap orang.
Selain menolak tegas ide tersebut, Constant Karma juga mempertanyakan ’asal-usul’ draft raperda tersebut. ”Kami tidak pernah dilibatkan dalam proses penyusunan, tiba-tiba draft raperda ini sudah ada. Kami tidak tahu, siapa yang menyusun?,” ujar Constan Karma.
Sementara itu Kepala Dinas Kesehatan, dr. Bagus Sukaswara, yang mendampingi Constant Karma, menjelaskan selaku instansi teknis pihaknya tidak bisa memberi tanggapan menyangkut isi draft raperda itu, khususnya pasal 35 ayat 4:i. Sejalan yang disampaikan Constant Karma, dr.Bagus menyatakan bahwa ’dokumen’ yang berisi tentang Raperdasi Pembangunan Kesehatan tersebut belum pernah sekalipun dibahas dengan pihak eksekutif termasuk Dinas Kesehatan sebagai instansi teknis yang menangani masalah kesehatan.
”Kalo raperdasi itu disahkan, siapa yang akan menjalankan kebijakan itu? Saya tidak yakin ada dokter yang bersedia melakukannya. Penandaan kepada pasien berarti membuka rahasia pasien, ini sama artinya dengan melanggar sumpah dokter,” tandasnya.
Bagus Sukaswara menambahkan, selama ini Dinas Kesehatan Provinsi Papua sudah mengajukan tiga draft raperdasi untuk dibahas legislatif. Ketiga draft tersebut adalah Raperdasi Pelayanan Kesehatan, Raperdasi Penanggulangan HIV&AIDS, dan Raperdasi Gizi.
”Sampai sekarang hanya Raperdasi Penanggulangan HIV&AIDS yang sudah selesai dibahas oleh DPRP Papua dan tinggal ketok palu. Dua raperdasi lain masih dalam proses pembahasan,” terang Bagus Sukaswara.
Constant Karma dan Bagus Sukaswara menandaskan dalam Raperdasi Penanggulangan HIV&AIDS yang sudah dibahas sejak tahun 2005 dan saat ini tinggal menunggu pengesahan dari legislatif, tidak ada satu pasal pun yang menyinggung soal pemasangan alat bantu deteksi bagi ODHA.
selengkapnya soal pasal itu :
Pengawasan dan pengendalian HIV/AIDS sebagaimana dimaksud pada ayat 4 (g), diperlukan sebuah alat bantu deteksi yang dapat digunakan untuk mengetahui jumlah, sebaran, gerakan, maupun aktifitas (seks) penderita atau ODHA , misalkan dengan cara : pemasangan micro chip atau pengkodean / penandaan paten kepada penderita HIV/AIDS yang dibuat sedemikian rupa sehingga tidak melanggar etika , moral maupun hak asasi setiap orang.
Reaksi pertamaku begitu baca bagian pasal ini adalah :”f**k off”. Bagaimana bisa pengkodean itu tidak melanggar etika, moral maupun hak asasi setiap orang?
Pertanyaan selanjutnya adalah : Setelah diberi micro-chip lantas apa? Apakah mereka akan dipantau 24 jam biar tidak menularkan. Apakah yang membuat draft ini sadar kalau HIV tidak ditularkan kalau misalnya kita bersalaman dengan orang yang positif HIV. Dan apakah kalau ada micro-chip ini, maka jika ada orang yang tidak memakai artinya bebas dari HIV.
Dengan adanya micro-chip/pengkodean ataupun apapunlah ini juga membuat stigma dan diskriminasi bagi orang yang positif HIV juga semakin luas. Bagaimana dengan asas kerahasiaan yang ada dalam tes HIV. Jangankan ada micro-chip, tanpa micro-chip juga banyak asas kerahasiaan yang dilanggar, thanks to global fund…
Seperti diriku ternyata KPA Papua juga bergerak cepat dan menentang pasal yang sangat konyol ini, semoga saja…
Note : maaf kalo postingan ini sepertinya gak jelas, masih-marah-abis-baca-draft-perda-itu….
wah, kayaknya udah ga ber-prikemanusiaan lagi tuh. ironis.
-IT-
robot kalee…
narapidana aja ga gitu-gitu amat…
@irvan132
he eh……..
@mybenjeng
itu dia, masalahnya kan kadang-kadang mereka tertular bukan karena kesalahan mereka…
Kena AIDS bukan akhir dunia……..meski berat ubtuk si penderita
@Neo Forty-Nine
memang bukan akhir dunia, tapi kalo dipasangin micro-chip malah jadi akhir dunia….
melakukan hal yang kayaknya sia2 deh. kenapa tidak menandai ya? Lebih baik dialokasikan ke yang lain, membantu mereka supaya tetap survive mungkin.
Lagian, bikin tambah stress saja tuh! Emangnya pilem ya? Pake dipasang microchip sgala.
Gpp emosi kok mbak, asal penyalurannya gak gegabah aja kan? 🙂
Hiee…salah ketik lagi. kenapa tidak menandai, harusnya kenapa menandai.
haiyah! Saya salah ketik terus disini. Maapkeun 🙂
Wah udha mulai diperlakukan macam ternak aja nih – pake RFID-tags.. 🙂
Solusi pengentasan HIV/AIDS gak tepat kalau hanya melalui tagging macam begini, awareness khalayak luas yang harus dimulai, sembari pencegahan/penanggulanagan dini.. inimah proyek pengadaaan aja 🙂
Kok kejam ya? Benar2 tdk manusiawi
Setuju dgn Domba Garut…kmungkinan ini proyek pengadaan saja, ujung2nya duit
aku jadi tergelitik tentang pemasangan micro chip itu salah satunya untuk memantau aktivitas (seks) ODHA. ini yang punya ide masangin micro chip aja udah brengsek. nah, kalo brengseknya kuadrat, mereka dapat rekaman, katakanlah aktivitas (seks) ODHA tadi terus ada yang pengen cari tambahan sangu bikin film biru, halah….
kebayang gak siy…..:/
yang kaya gini mah pelanggaran HAM abis. coba mbak ira gini aja.. kalo ada hearing misalnya ya……..
suruh aja dulu pada aleg yang terhormat itu memakai micro chip itu satu hari aja, buat test ato apa lah namanya.
kalo mereka gak mau, berarti jelas kan para ODHA itu juga gak kan mau.
DUHAM ala PBB itu ternyata ga mempan juga ya mbak:(
manusia itu semua sama
hanya kejam yang ada dalam hatinya
@Desti
itu dia… kayaknya ada salah pemahaman dari para anggota DPRD yang terhormat itu……
@Domba Garut!
Iya kang, sepertinya soal pengadaan saja *baru nyadar* gak tau, kalo di Liberia ada gak orang
gilayang punya ide kayak gini……@deKing
memang gak manusiawi….
@mataharicinta
iya ya, coba anggota DPRD di Papua sana nyobain dulu….
@Anang
emang sama pak…. makanya gak seharusnya ODHA dipasangin microchip….
@kump45
memang kejam….
kenapa gak di pasang pada dirinya sendiri aja, trus di sebut sebagai orang yang hidup dengan rasa benci terhadap sesama
BUBARKAN DPRD!!! *kelewatan ya?*
jahat banget sih, mereka !! jahat, PLUS bodoh!!
@aribowo
seandainya bisa….. biar mereka nyadar…
@suandana
segitunya 🙂 …. gak semua anggota DPRD itu punya pikiran picik seperti itu. Pada saat Palembang buat Perda HIV/AIDS, aku banyak bertemu dengan anggota DPRD yang mau menerima masukan dan informasi baru tentang HIV terutama pas mereka bertemu langsung dengan orang yang terinfeksi HIV.
@venus
iya mbak…. memang jahat banget…
wuah… bacanya amat sangat terlambat ya.
kebetulan lagi hunting tulisan tentang HIV/AIDS. semoga yang punya pikiran tentang microchips tadi segera disadarkan ya.
yang jelas, pasal itu nggak jadi dipake kan?