Sebagai salah satu teman mas Iman di path, saya sudah tahu tentang rencana pembuatan film 3 Srikandi sejak awal. Termasuk ketika mas Iman pedekate dengan calon-calon aktor di film ini. Setahu saya mas Iman lebih dikenal sebagai sutradara iklan, dan hanya menyutradarai satu film televisi yang disiarkan di SCTV beberapa tahun yang lalu. Ketika pertama tahu mas Iman bakal bikin film, tentu saja saya senang. Tapi begitu tahu tentang panahan, reaksi pertama saya adalah, kok tentang panahan sih?

3 Srikandi dan pelatihnya
Bukan apa-apa, saya tahu panahan adalah cabang olahraga pertama yang menyumbangkan medali di olimpiade. Tetapi panahan bukanlah olahraga yang dikenal di Indonesia. Berbeda dengan sepak bola ataupun bulutangkis yang lebih populer di sini. Walaupun aktor yang bermain termasuk aktor-aktor ngetop, termasuk (waktu itu rencananya) Dian Sastro. Ketika saya tahu penulis skenarionya adalah Swastika Nohara, saya percaya kalau film ini pasti bagus. Tentu saja, Tika adalah pemenang skenario terbaik untuk film Cahaya dari Timur. Tapi saya tetap khawatir kalau film ini kurang diminati oleh penonton.
Saya tidak beruntung bisa nonton premiere-nya karena saya tidak tinggal di Jakarta. Pun banyak kesibukan sehingga saya baru bisa menonton film ini ini hari Senin (9/8). Di Palembang pun, tidak semua bioskop memutar film ini, hanya ada tiga bioskop yang memutar dan salah satunya hanya memutar dua kali dalam sehari. Akhirnya saya menonton di Cinemaxx, maylaf. Karena jaraknya bisa dijangkau dan pilihan waktunya lebih banyak.
Bioskop hanya diisi seperempatnya saja dan saya akhirnya pindah tempat duduk karena di dekat saya ada serombongan anak-anak gengges yang datang telat dan sibuk main hp walaupun film sudah dimulai.
Film 3 Srikandi didasarkan pada kisah nyata tentang perjuangan Nurfitriyana, Lilies Handayani dan Kusuma Wardhani di Olimpiade Seoul 1988. Setelah bertahun-tahun hanya menjadi penggembira di olimpiade, akhirnya pada tahun 1988 Indonesia berhasil mendapatkan medali walaupun bukan medali emas. Setelah menonton film ini saya baru tahu kalau ternyata Indonesia malah berpeluang mendapat medali emas lewat Donald Pandiangan di Olimpiade Moscow. Namun karena politik, akhirnya peluang itu kandas karena Indonesia tidak mengirimkan kontingen ke Olimpiade Moscow. Di film ini diceritakan kalau Donald atau yang lebih dikenal dengan Pandi, mutung dan menghilang. Setelah dibujuk-bujuk akhirnya ia bersedia melatih tim panahan putri dengan syarat mereka harus dilatih dengan caranya dan Perpani tidak boleh mengintervensi.
Alur film ini mengalir dan memang waktu 2 jam lebih tidak terasa. Btw, ini diingatkan pula oleh penjual tiket yang berusaha membujuk saya membeli snack. Filmnya lama lho mbak, 2 jam lebih. Nanti kelaparan di dalam.
Adegannya banyak yang mengundang senyum dan tawa. Terutama adegan ketika mereka berada di angkot. Akting Reza sebagai Donald juga cukup meyakinkan terutama logatnya. Yang gengges adalah poni Reza yang rasanya pengen tak gunting saja. Mungkin maksudnya biar mirip sama gaya rambut Donald, tapi rasanya aneh saja. Tapi karakter Reza sebagai Donald itu memang kadang-kadang menyebalkan karena sadis dan galaknya itu.
Favorit saya di film ini tentu saja Chelsea Islan yang berhasil berperan sebagai Lilies. Ia berhasil meyakinkan saya kalau ia adalah Lilies, arek Suroboyo dengan logatnya yang medok, punya gaya bicara yang ceplas-ceplos dan hidup di tahun 80an. Tara Basro dan Bunga Citra Lestari juga berakting bagus di sini. Persahabatan mereka bertiga terasa sangat natural.
Nuansa 80an di sini terasa banget. Lagu-lagunya juga lagu yang populer di tahun 80an akhir seperti Tentang Kita, Ratu Sejagad dan Astaga. Saya jadi teringat kalau dulu jeans yang dipakai Suma pada saat pulang dari toko itu sangat hits tahun 80an. Baju-bajunya juga, walaupun sempat bocor ketika ada adegan di pasar malam. Ada beberapa pemeran figuran yang memakai skinny jeans yang dulu malah tidak populer. Model celana yang ngetrend tahun segitu itu celana baggy.
Secara keseluruhan film ini bagus buat ditonton walaupun ada adegan yang menurut saya agak mengganggu. Adegan ketika Yana memberikan motivasi pada saat bertanding di final panahan menurut saya agak lebay, apalagi ketika adegan itu ternyata disiarkan di televisi secara langsung. Tapi selain itu, film ini bagus. Thumbs up buat mas Iman Brotoseno selaku sutradara dan Swastika Nohara selaku penulis skenario. Btw, pas opening film dan melihat nama mas Iman dan Tika rasanya jadi ikutan bangga.
Katanya 80% kisah nyata dan 20% fiksi. Sepanjang film ini saya sibuk menebak-nebak, mana yang fiksi dan yang nyata. Tapi saya baru tahu kalau ternyata Kusuma Wardhani itu beneran cinlok sama Adang Adjidjie bukan cuma sekadar fiksi. Btw, Tara Basro juga cantik banget di film ini.

saya malah suka banget sama cerita Suma dan Adang
Film ini wajib ditonton buat tahu bagaimana perjuangan srikandi Indonesia untuk mencapai medali pertamanya. Apalagi ketika film ini diputar di bioskop Riau Ega Agatha sedang berjuang untuk meraih medali di Olimpiade Rio dan dilatih oleh Denny Trisyanto, suami Lilies Handayani yang diperankan oleh Mario Irwinsyah di film ini.
Skinny jeans dulu udah ada kok. Mak gw punya, soalnya, hahaha. Tp ya gak taon 80an jg sik. 90an lah
Makanya, tahun segitu yang ngetrend ya celana baggy.
Reza ini bisa peran apa aja yaaa, padahal asli nya yaa gitu banget hehehe #Salut
Aslinya gimana sih? #kepohore